AMSTERDAM YANG LIBERAL
Banyak sisi kehidupan di Amsterdam ini yang menarik dicermati. Kehidupan malam, misalnya. Untuk itu setelah lelah seharian keliling Amsterdam aku mutuskan pulang ke apartemen. Rencananya pulang dulu trus ke “red light”. Red light district adalah lokasi lokalisasi terbesar di Eropa. Nah,…loh. Ngapain disana??? Hayo???. Dasar cowok, pastinya penasaran donk ada apa disana. Seperti ketika dulu aku lulus SMA trus kuliah di ITS Surabaya, niat banget pengen tahu Dolly yang katanya lokalisasi terbesar di Asia Tenggara.
Pengen telpon mas wiby, buat dijemput, tapi mas wiby udah sms duluan. Intinya sms-nya sih minta ketemu karena kunci apartemennya aku yang bawa hihihi. Tapi karena waktu itu hari udah “maghrib” (maghrib??? Emang ada di Amsterdam?))) Aku ikutan pulang aja. Lagian cuaca Amsterdam udah menunjukkan “aslinya”. Dingin pooool. Apalagi anginnya……wuiiiiih….
Akhirnya pulang naik mobilnya mas wiby. Didalam mobil, aku minta mas wiby nyalain pemanas ( kalo di Surabaya, alat ini pasti gak laku, sumpah!!!). Sampe apartemen, mandi trus rebahan bentar,....makan deh…….Abis itu aku bilang ama mas wiby kalo pengen ke red light, trus mas wiby OK aja karena dia juga ada rencana ke asrama temennya.
Akhirnya kesempatan menyusuri sudut-sudut Red Light terpenuhi, yakni pas jam 9 malem. Menikmati sisi lain kehidupan Amsterdam, sebetulnya sudah pengen banget sejak menginjakkan kaki di Belanda ini. Karena di Amsterdam cuman 2 hari 1 malam, berarti hanya malam ini aja aku bisa ke Red light. Amsterdam memang menawarkan sensasi yang lebih liberal, transparan dan blak-blakan. Pemerintah negara ini sangat menghormati hak individu setiap orang. Dan itu termasuk hak untuk menikmati obat-obat terlarang atau drugs.
Pakai drugs dianggap legal. Polisi tidak akan bertindak. Mengonsumsi drugs atau tidak, itu hak setiap orang. Awalnya, pemerintah Belanda hanya mengizinkan drugs berdosis rendah yang boleh dijual di pasaran. Tapi faktanya, publik setempat malah banyak yang berani menjual drugs berdosis tinggi. Drugs itu banyak dijual di kota-kota besar di Belanda. Di Amsterdam misalnya. Tak sedikit bar atau kafe yang menyediakan drugs berdosis tinggi. Yang paling banyak ditemukan di kawasan lokalisasi pekerja seks komersial (PSK) Red Light District Amsterdam, satu kilometer ke arah barat dari stasiun pusat kereta Amsterdam. Di tempat itu, ada banyak jenis drugs. Ada kokain, heroin, hashis, mariyuana dan lainnya. Saat berjalan mengitari lorong-lorongnya, bau pengap asap drugs menyesakkan dada, beradu dengan bau keringat dan pekikan manja wanita-wanita muda.
Amsterdam memang sudah lama menjadi pusat kebebasan moral di dunia. Hak kaum gay dan lesbian dipertonton-kan secara terbuka. Bahkan mereka bisa menikah antara lelaki atau antara perempuan. Kaum hetero pun melampiaskan kebebasan dengan tontonan seks lengkap di panggung komersial. Prostitusi berjalan bebas dan dipromosikan oleh public relation secara legal. Pusatnya, ya, di Red Light District atau Zeedijk itu. Lokasinya hanya beberapa blok dari tempat wisata mainstream Damrak dan Kalverstraat. Di Zeedijk itu, semua yang ‘berbau seks dan porno terpampang dengan vulgar dan tentu bisa dinikmati. Ada sex shop atau porno shop sampai museum seks dan museum rugs (The Hash Marihuana Hemp Museum). Mengitarinya tak butuh waktu lama, cukup sekitar satu jam bisa tuntas menyusuri semua lorong. Tak terlalu luas memang, namun tawaran yang dipertontonkan lebih menggetarkan dari sekadar khayalan!
Ada beberapa kafe yang didepannya ada bendera berwarna pelangi. Karena penasaran aku Tanya mas wiby. Kata mas wiby itu artinya kafe buat para kaum gay dan lesbian. Di seluruh lokasi red light Mas wiby wanti-wanti jangan sampe aku motret. Yah….gak ada “oleh-oleh” donk, pikirku. Masih kata mas wiby, kalo sampe motret pasti bakalan kena damprat “para penghuni” atau minimal diacungi jari tengah. Oh ya 2 foto yang terpampang ini bukan aku yang ambil, tapi donlot dari internet, sekedar pengen ngasih gambaran kayak apa red light itu.
Berada di antara blok-blok bangunan tua di belah sungai kecil di sela pepohonan, Zeedijk menawarkan semuanya. Ada restoran dengan menu roti berbumbu heroin atau kafe dengan kebebasan mengepulkan ganja. Seseorang akan bolak-balik menawarkan ekstasi, tanpa perlu takut ditangkap polisi, sepanjang masih di dalam kawasan. Papan bertuliskan live show mengundang tanda tanya, seperti terpampang di teater Erotis Casa Rosso. Yang mau menonton, cukup siapkan 30 euro. Nyatanya, ada saja yang tergoda menyaksikannya. Di sana, ditawarkan pertunjukan goyangan erotis wanita dan diakhiri dengan adegan ranjang mirip di film biru. Semua dilakukan persis di depan mata, seperti saat menonton bioskop, tapi ini benar-benar hidup! “Benar-benar gila!”
Ada pula yang lebih sederhana, namun tetap syuurrrr! Saat masuk sebuah kafe, persis di pelataran depan terdapat boks dengan enam sudut. Masing-masing memiliki pintu. Di salah satu sisi terpampang 8 lembar foto wanita telanjang. Mereka adalah wanita yang dapat ditonton sedang tiduran sambil menggoda yang melihatnya. Wanita itu ada di dalam boks segi enam itu. Untuk menyaksikannya, harus menggunakan uang koin minimal 2 euro. Mesin penukaran uang juga sudah disiapkan di salah satu sudut ruangan. Kita lantas masuk ruangan seperti boks telepon umum. Begitu memasukkan koin 2 euro, kaca di depan mata langsung terbuka dan terpampanglah semuanya: bugil dan bergaya menggoda. Bahkan, kabarnya, pada saat tertentu pemandangan yang hanya satu sentimeter di depan mata itu berupa adegan percintaan suami istri!
Sementara itu, di semua sudut bangunan terbuka jendela yang diterangi lampu warna merah. Persis etalase di toko pakaian, tapi di Red Light Dis-trict atau Zeedijk, yang berdiri di balik kaca adalah wanita-wanita muda dari berbagai bangsa, terutama Eropa timur, seperti Rusia dan Uzbekistan. Pakaian mereka sangat minim, tak jarang tinggal underwear, bahkan no-bra! Para pekerja seks menyewa jendela pajangan itu sebesar £ 70 atau sekitar Rp 1 juta, untuk periode tertentu dalam sehari. Satu jendela biasanya digunakan oleh beberapa pekerja seks sehingga para calon pelanggan bisa melihat mereka dari luar. Kalau berminat, ya tinggal beri tanda, si wanita akan membuka pintu di samping jendela. Harga ‘pasaran’ ketika itu berkisar 400 dolar untuk ‘sekali jalan’. Bila ada kecocokan harga, tak perlu ke mana-mana, langsung masuk dari pintu samping, lantas gorden etalase ditutup: selanjutnya, silakan tebak sendiri! Begitu mudah, tak pandang siang atau malam.
Lalu, bukankah di dekat sana ada gereja yang sangat antik? Gereja di Belanda mungkin hanya sekadar gedung tua yang menunggu kedatangan orang-orang tua. Nah, kalau yang ‘tua-tua begini’ memang dilestarikan di Belanda, khususnya Amsterdam. Jadi, tak sekadar ‘erotisme Red Light District’ sebab ada pula keanggunan 20 ribu gedung di atas tanah seluas 800 hektar wilayah Amsterdam. Tak kurang dari 6.700 bangunan masuk dalam kategori monumen nasional, yaitu gedung-gedung bersejarah yang kini dilestarikan pemerintah pusat. Ada 290-an bangunan dan monumen lain yang dijaga oleh pemerintah Amsterdam. Sedangkan 1.160 gedung lainnya menyusul masuk dalam kategori tersebut. Karena itu, Amsterdam juga dijuluki ‘The Living Museum’, atau Venesia dari Utara karena kanal-kanalnya yang indah. Pesonanya sulit terlupa, senantiasa membekas di benak. Seperti kenangan Presiden Amerika Serikat, Bush, yang bisa dengan lantang mengatakan: “Ämsterdam is my favorite country!” (kok country, pak bush? Bukannya city tuh??? Jadi inget kata2 Nadine CW, “Indonesia is a beautiful city”)
Akhirnya aku pulang ke apartemen lagi dan tidur, karena besok harus ke Copenhagen Denmark. It is one of my beautiful day,…….tidur dulu bossss!!!
Kembali ke CERITA PERJALANAN
Pengen telpon mas wiby, buat dijemput, tapi mas wiby udah sms duluan. Intinya sms-nya sih minta ketemu karena kunci apartemennya aku yang bawa hihihi. Tapi karena waktu itu hari udah “maghrib” (maghrib??? Emang ada di Amsterdam?))) Aku ikutan pulang aja. Lagian cuaca Amsterdam udah menunjukkan “aslinya”. Dingin pooool. Apalagi anginnya……wuiiiiih….
Akhirnya pulang naik mobilnya mas wiby. Didalam mobil, aku minta mas wiby nyalain pemanas ( kalo di Surabaya, alat ini pasti gak laku, sumpah!!!). Sampe apartemen, mandi trus rebahan bentar,....makan deh…….Abis itu aku bilang ama mas wiby kalo pengen ke red light, trus mas wiby OK aja karena dia juga ada rencana ke asrama temennya.
Akhirnya kesempatan menyusuri sudut-sudut Red Light terpenuhi, yakni pas jam 9 malem. Menikmati sisi lain kehidupan Amsterdam, sebetulnya sudah pengen banget sejak menginjakkan kaki di Belanda ini. Karena di Amsterdam cuman 2 hari 1 malam, berarti hanya malam ini aja aku bisa ke Red light. Amsterdam memang menawarkan sensasi yang lebih liberal, transparan dan blak-blakan. Pemerintah negara ini sangat menghormati hak individu setiap orang. Dan itu termasuk hak untuk menikmati obat-obat terlarang atau drugs.

Amsterdam memang sudah lama menjadi pusat kebebasan moral di dunia. Hak kaum gay dan lesbian dipertonton-kan secara terbuka. Bahkan mereka bisa menikah antara lelaki atau antara perempuan. Kaum hetero pun melampiaskan kebebasan dengan tontonan seks lengkap di panggung komersial. Prostitusi berjalan bebas dan dipromosikan oleh public relation secara legal. Pusatnya, ya, di Red Light District atau Zeedijk itu. Lokasinya hanya beberapa blok dari tempat wisata mainstream Damrak dan Kalverstraat. Di Zeedijk itu, semua yang ‘berbau seks dan porno terpampang dengan vulgar dan tentu bisa dinikmati. Ada sex shop atau porno shop sampai museum seks dan museum rugs (The Hash Marihuana Hemp Museum). Mengitarinya tak butuh waktu lama, cukup sekitar satu jam bisa tuntas menyusuri semua lorong. Tak terlalu luas memang, namun tawaran yang dipertontonkan lebih menggetarkan dari sekadar khayalan!
Ada beberapa kafe yang didepannya ada bendera berwarna pelangi. Karena penasaran aku Tanya mas wiby. Kata mas wiby itu artinya kafe buat para kaum gay dan lesbian. Di seluruh lokasi red light Mas wiby wanti-wanti jangan sampe aku motret. Yah….gak ada “oleh-oleh” donk, pikirku. Masih kata mas wiby, kalo sampe motret pasti bakalan kena damprat “para penghuni” atau minimal diacungi jari tengah. Oh ya 2 foto yang terpampang ini bukan aku yang ambil, tapi donlot dari internet, sekedar pengen ngasih gambaran kayak apa red light itu.

Ada pula yang lebih sederhana, namun tetap syuurrrr! Saat masuk sebuah kafe, persis di pelataran depan terdapat boks dengan enam sudut. Masing-masing memiliki pintu. Di salah satu sisi terpampang 8 lembar foto wanita telanjang. Mereka adalah wanita yang dapat ditonton sedang tiduran sambil menggoda yang melihatnya. Wanita itu ada di dalam boks segi enam itu. Untuk menyaksikannya, harus menggunakan uang koin minimal 2 euro. Mesin penukaran uang juga sudah disiapkan di salah satu sudut ruangan. Kita lantas masuk ruangan seperti boks telepon umum. Begitu memasukkan koin 2 euro, kaca di depan mata langsung terbuka dan terpampanglah semuanya: bugil dan bergaya menggoda. Bahkan, kabarnya, pada saat tertentu pemandangan yang hanya satu sentimeter di depan mata itu berupa adegan percintaan suami istri!
Sementara itu, di semua sudut bangunan terbuka jendela yang diterangi lampu warna merah. Persis etalase di toko pakaian, tapi di Red Light Dis-trict atau Zeedijk, yang berdiri di balik kaca adalah wanita-wanita muda dari berbagai bangsa, terutama Eropa timur, seperti Rusia dan Uzbekistan. Pakaian mereka sangat minim, tak jarang tinggal underwear, bahkan no-bra! Para pekerja seks menyewa jendela pajangan itu sebesar £ 70 atau sekitar Rp 1 juta, untuk periode tertentu dalam sehari. Satu jendela biasanya digunakan oleh beberapa pekerja seks sehingga para calon pelanggan bisa melihat mereka dari luar. Kalau berminat, ya tinggal beri tanda, si wanita akan membuka pintu di samping jendela. Harga ‘pasaran’ ketika itu berkisar 400 dolar untuk ‘sekali jalan’. Bila ada kecocokan harga, tak perlu ke mana-mana, langsung masuk dari pintu samping, lantas gorden etalase ditutup: selanjutnya, silakan tebak sendiri! Begitu mudah, tak pandang siang atau malam.
Lalu, bukankah di dekat sana ada gereja yang sangat antik? Gereja di Belanda mungkin hanya sekadar gedung tua yang menunggu kedatangan orang-orang tua. Nah, kalau yang ‘tua-tua begini’ memang dilestarikan di Belanda, khususnya Amsterdam. Jadi, tak sekadar ‘erotisme Red Light District’ sebab ada pula keanggunan 20 ribu gedung di atas tanah seluas 800 hektar wilayah Amsterdam. Tak kurang dari 6.700 bangunan masuk dalam kategori monumen nasional, yaitu gedung-gedung bersejarah yang kini dilestarikan pemerintah pusat. Ada 290-an bangunan dan monumen lain yang dijaga oleh pemerintah Amsterdam. Sedangkan 1.160 gedung lainnya menyusul masuk dalam kategori tersebut. Karena itu, Amsterdam juga dijuluki ‘The Living Museum’, atau Venesia dari Utara karena kanal-kanalnya yang indah. Pesonanya sulit terlupa, senantiasa membekas di benak. Seperti kenangan Presiden Amerika Serikat, Bush, yang bisa dengan lantang mengatakan: “Ämsterdam is my favorite country!” (kok country, pak bush? Bukannya city tuh??? Jadi inget kata2 Nadine CW, “Indonesia is a beautiful city”)
Akhirnya aku pulang ke apartemen lagi dan tidur, karena besok harus ke Copenhagen Denmark. It is one of my beautiful day,…….tidur dulu bossss!!!
Kembali ke CERITA PERJALANAN